Syahdan, Khalifah Harun Al Rasyid marah besar kepada sahibnya yang karib dan setia yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas setelah menerima laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa tidak mau ruku dan sujud dalam shalat. Lebih lagi, Abu Nawas menyebut khalifah sebagai yang suka fitnah.
Menurut pembantu pembantunya Abu Nawas layak dipancung karena telah melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah kepada khalifah.
Khalifah mulai terpancing, tetapi untung ada seorang pembantunya yang meminta dirinya melakukan tabayyun (konfirmasi) atas kebenaran tuduhan itu kepada Abu Nawas.
Hai Abu Nawas, benar kamu berpendapat tidak ruku dan sujud dalam shalat ? tanya khalifah.
Benar Saudaraku, jawab Abu Nawas dengan tenang
Khalifah bertanya lagi:”Benar kamu berkata bahwa aku seorang khalifah yang suka fitnah.?’
Abu Nawas tersenyum dan berkata: “Saya tidak menolak telah menyampaikan dua pendapat itu, namun sepertinya pendapat yang diterima kepadamu tidak lengkap”
Khalifah dengan ketus berkata : “Apa maksudmu? jangan membela diri, kau telah mengakui dan mengatakan kabar itu benar adanya.”
Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang: “Saudaraku aku memang berkata ruku dan sujud tidak perlu dalam shalat, tetapi dalam shalat apa? waktu itu aku menjelaskan tata cara shalat jenazah yang memang tidak perlu ruku dan sujud”
Lalu bagaimana soal aku yang suka fitnah?’ tanya khalifah
Abu Nawas menjawab : Kalau itu aku sedang menjelaskan surat Al Anfal ayat 28, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, anda sangat menyukai kekayaan dan anak anak, berarti anda suka fitnah (ujian) itu”
Mendengar penjelasan Abu Nawas itu yang sekaligus sebagai kritikan kepada dirinya, Khalifah Harun Al Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar. Rupanya kedekatan dia dengan Abu Nawas menimbulkan iri hati dan dengki diantara pembantu pembantunya.
(Diambil dari buku “Ketawa sehat bareng para ahli fiqih” karya Khaeron Sirin)
Wallahu a’lam