Ilmu harus diamalkan dulu
Butuh waktu 30 tahun saya mulai berani nulis di blog perkarahati perihal ilmu agama. Pasalnya adalah saya belum berani menyampaikan suatu ilmu tanpa saya sendiri sdh mengamalkan. Kesukaran diatas kesukaran adalah satunya kata dan perbuatan.
Saya juga berpikiran kala itu penyampaian ilmu akan lebih efektif bila melalui perbuatan bukan melalui lisan. Biar orang melihat dulu bahwa islam itu indah dalam bentuk amal perbuatan yg nyata.
Namun makin saya pendam ilmu makin saya nggak nyaman, desakan utk menyampaikan ilmu yg saya peroleh terus muncul. Saya juga tidak mau di cap sebagai pemendam ilmu yaitu orang yg tahu ilmu tapi buat diri sendiri doang.
Kala itu saya takut akan ayat Allah dalam Al Quran surat As-shaff kalau Allah sangat membenci orang yang berkata tapi tidak melakukannya.
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)
satu hal lagi yang menghalangi saya untuk menyampaikan ilmu adalah kapasitas saya sendiri sebagai pemberi ilmu tidaklah mumpuni atau memang bukan ahlinya. Kapasitas pemberi ilmu yang kompeten dan terpercaya belomlah saya miliki terkait kemampuan meruntut ayat dan hadist ditambah pengetahuan bahasa arab yang sangat minim untuk menjawab permasalahan terkait agama.
Pemahaman mengerti suatu ayat atau hadist akhirnya dituntut harus dalam tidak hanya sekedar hafal melainkan sudah difahami dan diamalkan berulang2 walau itu suatu perkara ilmu yg sedikit misalnya sehingga tertanam dihati. Terkait hal hal diatas itulah bila sudah sampai taraf ini barulah afdol ilmu disampaikan ke orang lain.
Ilmu harus disampaikan
Terkait bahwa ilmu harus segera disampaikan walau satu ayat adalah merujuk pada hadist :
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari).
Saya juga mendengar ucapan Hasan Al Basri bahwa menyampaikan ilmu adalah bentuk amar maruf nahi munkar dan ilmu boleh disampaikan segera, kuatir itu jebakan setan sehingga sudah tidak ada lagi yang mau menyampaikan ilmu karena syarat harus baik dulu itu.
Hasan Al-Bashri mengatakan, “Semoga Allah merahmatimu, siapakah di antara kita yang mengerjakan apa yang dia katakan, sungguh setan berharap bisa menjebak kalian dengan hal ini sehingga tidak ada seorang pun yang berani amar makruf nahi mungkar.” (Tafsir Qurthubi, 1/410)
Jalan tengahnya
Dengan demikian harus dicari jalan tengah mengatasi itu. Tetap saya harus menulis, namun sebagai awalnya saya menjadi sangat hati hati memilih ayat atau hadist untuk mulai dituliskan jadi tetap hanya yg sdh diamalkan saja saya coba tulis.
Seperti hadist bahwa Allah akan membiarkan 3 golongan yaitu orang tua yang tetap bermaksiat, pemimpin yang dusta dan orang miskin yang sombong, terkait sdh seumur ini masih bermaksiat. Saya belum berani menyampaikan hadist ini karena masih belum mantap karena sampai saat ini kuatir belum lepas dari maksiat.
Akhirnya pada tahun 2013 dgn mengucap bismilah saya beranikan menulis dalam sebuah blog perkara hati ini. Saya coba ingat ilmu saat di pesantren dulu…apa apa ucapan kyai dan mengambil referensi dari kitab kuning terjemahan…maklum saya bukan yg jago mengaji apalagi menggunakan bahasa arab.
Alhamdulilah selama 4 tahun berjalan saat ini sdh ratusan post dgn views yg hampir 2 jutaan, dan ternyata responnya luar biasa. Namun bayangan sampaikan walau satu ayat dgn pengertian saya harus diamalkan dulu masih jadi pegangan.
Saya masih kuatir kalau sampaikan ayat namun saya sendiri blom mengamalkan akan memukul diri sendiri. Orang yang berkata namun mengingkari juga disebut Munafik, Na’uzubillahi min dzalik
Begitulah perasaan awal yang berkecamuk kala saya mau menuliskan blog dalam perkara hati ini.
Wallahu a’lam